ISLAM DAN SAINS DARI PERSPEKTIF ASTRONOMI GEOSENTRIS

Sumber : http://blogs.itb.ac.id/evan/2011/07/19/islam-dan-sains-dari-perspektif-astronomi-geosentris/

Selama tujuh ratus tahun sejak dicetuskan Ptolemy di abad kedua masehi, tidak ada yang meragukan teori geosentris. Selama bertahun-tahun, Ptolemy mengamati posisi benda-benda langit dan mencatatnya dalam sebuah buku, almagest. Dari data ini Ptolemy merumuskan model alam semesta. Ia ingin menjelaskan bagaimana benda-benda langit itu bergerak.

Ptolemy percaya bahwa bulan, matahari, planet dan bintang-bintang berada dalam bola kaca yang berlapis-lapis dan berputar mengelilingi bumi. Bulan ada di lapisan terdalam, dan bintang-bintang ada di lapisan terluar. Jadi bumi berada di pusat alam semesta.


Model geosentris ala Ptolemy. Alam semesta terdiri dari 7 lapis dengan bumi sebagai pusatnya. Sumber: BBC4

Jika orbit benda langit berbentuk lingkaran, tentu kecepatan gerak mereka di langit selalu konstan. Namun kenyataannya tidak demikian. Planet kadang bergerak cepat, kadang melambat. Arah gerak planet juga tidak selamanya tetap tapi kadang berlawanan arah membentuk simpul. Bahkan pada hari-hari tertentu, planet tampak membesar dan mengecil. Seolah planet-planet itu mendekat dan menjauhi bumi. Untuk menjelaskan ini, Ptolemy berargumen bahwa selain mengelilingi bumi, planet juga mengelilingi lingkaran yang lebih kecil yang disebut denganepicycle. Namun tetap saja, model ini tidak bisa menjelaskan kecepatan gerak planet yang berubah-ubah. Ptolemy kemudian memperoleh solusi matematis dan menggeser posisi bumi. Bumi tidak lagi ditempatkan di pusat alam semesta, digantikan oleh sebuah titik khayal yang disebut dengan equant.


Dilihat dari bumi, garis edar planet tampak berbalik dan membentuk simpul (gerak retrograde planet). Sumber: BBC4


Untuk menjelaskan gerak retrograde, Ptolemy mengusulkan lingkaran epicycle. Sumber: BBC4


Lebih jauh, Ptolemy memindahkan bumi dari pusat semesta dan menggantikannya dengan equant. Sumber: BBC4

Sampai di sini kita berhenti sejenak dan mencoba merasakan betapa putus asanya Ptolemy. Dia tahu dia melakukan kesalahan dengan model geosentris miliknya. Tapi dia juga tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sadar, meski memiliki banyak kelemahan, teori geosentris adalah solusi terbaik yang bisa dibuatnya.

Tujuh abad kemudian, Abu Abdullah Muhammad bin Jabir –atau yang lebih kita kenal dengan nama al Battani– membaca almagest. Al Battani merasa tertarik. Dengan berbekal keterampilan membuat instrumen yang diwarisi dari ayahnya, al Battani membuat sextan. Alat untuk mengukur arah dan ketinggian suatu benda. Dengan alat ini, al Battani mengamati benda-benda langit dari tahun 877 hingga 918 dan menuliskannya dalam tabel al Zij (O’Connor & Robertson 1999, Dodge 1970). Al Battani kemudian membandingkan tabel Zij miliknya dengan almagest. Hasilnya, posisi matahari bergeser 16,47 derajat. Al Battani mulai mempertanyakan keabsahan teori geosentris.

Pekerjaan al Battani dilanjutkan oleh Abu Ali Hasan bin Hasan bin Haytham (Ibnu Haytham). Ibnu Haytham menemukan sebuah kontradiksi dalam teori geosentris. Di satu sisi, teori ini mengatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Tapi di sisi lain, Ptolemy mengatakan agar dapat memprediksi posisi matahari dan planet secara matematis, mereka harus mengelilingi equant. Mana yang benar? Keraguan ini mendorong Ibnu Haytham menulis buku as syuquuq al Batlamyus (keraguan terhadap Ptolemy) di abad kesebelas. Menurut Ibnu Haytham, sebuah teori baru akan valid jika konsisten secara matematis dan sesuai dengan hasil pengamatan.

Tapi Ibnu Haytham juga tidak bisa membuat teori yang lebih baik. Ibnu Haytham menulis dalam bukunya, betapa susahnya mencari kebenaran ilmiah: “Kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Tapi kebenaran itu juga tidak luput dari ketidakpastian. Dan penulis tidak luput dari kesalahan”. Meski ragu, Ibnu Haytham tetap mengikuti geosentris. Dia membantah adanya equant dan mengatakan, “Bumi berbentuk bulat yang pusatnya merupakan pusat alam semesta. Bumi diam, tidak bergerak atau bergeser ke arah manapun” (Langerman, 1990).

Waktu berlalu. Kesempatan pun datang pada Muhammad bin Muhammad al Tusi. Hidup di awal abad ke-13 di Persia sangat sulit. Tentara Mongol menyerang dan menghancurkan kota-kota Islam satu persatu. Meski keadaan tidak menentu, al Tusi tetap giat belajar di bawah bimbingan ayah dan pamannya. Di usia 13 tahun, al Tusi harus mengungsi ke Nishapur karena Mongol menyerang kampung halamannya. Di kota ini, al Tusi menyelesaikan pendidikan dan menjadi ilmuwan di Istana Ismailiyah. Selain menjadi benteng, istana ini juga menjadi pusat penelitian dan ibadah. Hasil penggalian arkeolog menunjukkan di dalam benteng ini terdapat musholla yang sangat luas. Dan di dalam istana inilah al Tusi menulis bukunya yang paling fenomenal, tadhkirah fi ‘ilm al-hay’ah. Al Tusi menemukan jawaban bagaimana menghilangkan equant dari teori geosentris. Ia memodifikasi epicycle menjadi dua lingkaran. Salah satu lingkaran berada di dalam lingkaran yang lain dan keduanya saling mengorbit satu sama lain. Konsep ini dikenal dengan al Tusi-couple.


Puing istana Ismailiyah. Kiri: Ini merupakan bekas musholla. Kanan: Ruangan tempat al Tusi menuliskan bukunya. Sumber: BBC4


Al Tusi-couple, berupa dua lingkaran yang saling mengelilingi. Sumber: BBC4

Sesuai dengan ucapan Ibnu Haytham, setelah menemukan solusi matematis, al Tusi juga harus melakukan pengamatan untuk menguji teorinya. Untuk itu, ia membutuhkan alat yang sangat besar agar data yang diperolehnya nanti memiliki presisi yang tinggi.

Sayangnya, pasukan Mongol menyerang di tahun 1255. Al Tusi melakukan negosiasi untuk menyelamatkan nyawanya dan mewujudkan ambisi ilmiahnya. Ia menemui pemimpin Mongol, Ogedei Khan (putra Jenghis Khan), dan berhasil meyakinkan bahwa ia dapat meramal masa depan jika ia diijinkan membangun sebuah observatorium (tapi tentunnya, tanpa teleskop karena belum ditemukan di masa itu). Ogedei Khan menyetujui ide ini. Dibentuklah sebuah tim yang beranggotakan orang Cina, Moroko dan Persia untuk membangun observatorium yang dilengkapi dengan perpustakaan, kantor dan masjid.

Di dalam observatorium miliknya, Al Tusi mendirikan busur raksasa berdiameter 10 meter. Busur ini diberi garis-garis sebagai penanda derajat dan menit busur (1 derajat = 60 menit busur). Cara mengoperasikan busur ini sederhana. Cukup dengan memposisikan benda langit yang ingin diamati di tengah, lalu baca skala yang tertera di busur. Angka yang terbaca merupakan posisi (koordinat) benda langit tersebut. Dibantu ilmuwan dari negara lain, al Tusi berhasil mengembangkan al Tusi-couple, memprediksi posisi planet-planet, dan gerhana. Tapi, tetap saja, teori yang dikembangkan al Tusi masih geosentris.


Obervatorium yang dibangun al Tusi. Di dalam observatorium ini terdapat busur berdiameter 10 m. Cahaya dari benda langit akan menandai skala dan posisinya dapat ditentukan. Sumber: BBC4

Temuan ilmuwan-ilmuwan muslim ini sampai ke Venesia. Di masa itu, Venesia adalah kota yang unik dan tidak terikat hukum negara manapun. Berdiri di atas laut, Venesia menjadi surga bagi pedagang dan bajak laut. Semua barang berharga dari hasil perdagangan maupun merompak, dikumpulkan di menara Campanile. Termasuk buku. Buku para ilmuwan muslim kemudian diterjemahkan dan dipelajari. Buku aljabar dan Zid milik al Battani, misalnya, diterbitkan ulang di Venesia dalam bahasa latin di abad keduabelas.

Buku-buku ini kemudian sampai ke tangan Nicolas Copernicus dan memberinya petunjuk untuk merumuskan teori heliosentris dan membukukan de revolutionibus orbium coelestium . Dalam bukunya, Copernicus menyajikan berlembar-lembar tabel posisi benda-benda langit untuk mendukung teori heliosentris. Tabel ini benar-benar identik dengan al Zij. Dan Copernicus mengakuinya. Di halaman 64 de revolutionibus (Copernicus, 1543), ia menulis bahwa data pengamatan yang ia gunakan adalah karya ilmuwan muslim bernama Machometi Aracenfis (al Battani). Di halaman lain juga terdapat ilustrasi al Tusi-couple yang sangat identik dengan ilustrasi di buku tadhkirah fi ‘ilm al-hay’ah. Bahkan, sampai ke notasi yang digunakan. Bila al Tusi menggunakan alif, ba, ta, dal, jim, maka Copernicus menggunakan A, B, C, D, G.


Copernicus mengilustrasikan teori heliosentris. Alam semesta ini berupa bola yang terdiri dari 7 lapisan dengan matahari terletak di pusatnya. Berturut-turut, mulai dari lapisan terdalam terdapat merkurius, venus, bumi + bulan, mars, jupiter, saturnus, dan bintang-bintang. Sumber: http://ads.harvard.edu/books/1543droc.book/


Copernicus menyebut al Battani sebagai Machometi Aracenfis. Al Battani terkenal karena tabel pengamatannya yang telah meng-katalog-kan 489 bintang dan menamainya dengan nama-nama arab seperti albali, suhail, hadar, hamal, alnitak, altair, dll. Dari tabel ini pula al Battani menentukan satu tahun lamanya 365 hari 5 jam 46 menit 24 detik, menghitung presesi equinox sebesar 0,015 derajat per tahun, dan menentukan kemiringan sumbu orbit bumi sebesar 23,583 derajat. Sumber: BBC 4


Kiri: solusi geometris dalam buku Copernicus. Kanan: al Tusi-couple. Notasi yang digunakan sangat mirip. Dal menjadi D (tengah). Jim menjadi G (bawah). Sumber: BBC4

Sebuah pertanyaan yang menggelitik pun muncul. Apa yang menyebabkan sains berpindah dari ilmuwan muslim ke tangan orang barat? Kenapa textbook sejarah sains biasanya tidak memuat sains Islam (setelah Romawi di akhir abad kedua, langsung ‘melompat’ ke Eropa di abad pertengahan)? Salah satu alasannya, karena naskah asli dalam bahasa arab sudah tidak ada. Dan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa latin, seringali mengalami penggantian nama penulis. Misal, al Battani menjadi Machometi Aracenfis. Alasan lain, karena tulisan arab memiliki banyak kosakata dan dialek. Sehingga untuk menulis kata yang tepat diperlukan banyak simbol (tanwin, fathah, kasrah, dll). Ketika buku masih ditulis tangan, hal ini tidak menjadi masalah besar. Tapi ketika bangsa barat menemukan teknologi percetakan, ceritanya jadi lain. Mencetak buku berbahasa arab pada wakt itu sangat merepotkan. Pada akhirnya, ketika buku-buku latin dicetak, jumlahnya jauh melebihi buku arab.

Dua dasawarsa lalu, ditemukan al Qur’an edisi cetakan yang pertama. Dan yang menarik, Qur’an ini tidak dicetak di arab, melainkan di Venesia tahun 1537 atau 1538 (Nuovo, 1990). Al Qur’an cetakan ini ditulis dalam huruf arab, kecuali sedikit font MS marginalia dalam bentuk latin untuk menandai notasi dan menulis nama pemilik Qur’an ini: Teseo Ambrogio degli Albonesi. Jelas bahwa al Qur’an ini dicetak oleh orang yang tidak tahu bahasa arab karena terdapat kata ‘dzalika’ yang ditulis ‘dzalaka’.

Keadaan makin diperparah oleh perang yang berkepanjangan. Di abad kesepuluh dan kesebelas, serangan Mongol telah menghancurkan ribuan buku berharga. Kemudian di tahun 1492, Spanyol di bawah pimpinan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella mengusir muslim di Grenada dan menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintah islam di Eropa. Karena ingin menghilangkan semua yang berbau Islam, di tahun 1499, Spanyol membakar semua buku-buku Islam dan hanya menyisakan sedikit buku kedokteran. Dan entah berapa banyak lagi buku yang musnah atau dicuri ketika terjadi perang salib.


Al Qur’an versi cetakan. Kata ‘dzalika’ yang salah cetak menjadi ‘dzalaka’ (kanan). Sumber: BBC4

Satu alasan lagi yang patut disebutkan di sini adalah penemuan dunia baru oleh Colombus. Emas, perak, dan barang berharga lain mengalir bagaikan banjir dari Amerika ke Eropa, mengubah benua yang tadinya gelap (tidak berperadaban, miskin, rakyatnya sering mati kelaparan, penuh dengan perampokan) menjadi daerah yang kaya raya. Hingga para pemimpinnya hampir setiap hari berpesta dan berfoya-foya. Dan sialnya, sains selalu mengikuti ke manapun uang pergi (pengalaman selama di Fakultas MIskin dan PApa). Ini menjelaskan kenapa buku la principia Newton tidak diterbitkan di Baghdad, tapi di London. Semakin lama, ilmuwan muslim makin tidak dapat mengikuti sains yang berkembang makin cepat dan makin mahal.

Tapi kenapa hasil karya ilmuwan muslim terlupakan? Bahkan hampir tabu untuk diajarkan? Mungkin, saya bilang mungkin…. jawabannya sederhana. Karena superioritas dunia barat di bidang sains. Selama 400 tahun, hampir semua penemuan dan terobosan ilmiah terjadi di Eropa (saya bisa menyebut orang Amerika sebagai Eropa juga karena mereka memang rakyat Eropa yang bermigrasi).

Referensi:

BBC 4, 2009, Film dokumenter Science and Islam episode 3: The Power of Doubt

Copernicus, N., 1543, de revolutionibus orbium coelestium, NASA Astrophysics Data System, versi digital buku ini dapat dilihat di http://ads.harvard.edu/books/1543droc.book/

Dodge, B., 1970, The Fihrist of al Nadim vol II, The Columbia University Press, versi digital buku ini dapat dilihat di http://www.muslimphilosophy.com/books/nad-phil.pdf

Langerman, Y.T., 1990, Ibn al Haytham’s On the Configuration of the World, Harvard dissertations in the history of science, ISBN No. 0824000412

Nuovo, A., 1990, A lost Arabic Koran rediscovered, The Library the 6th series, vol. XII, no 4, versi digital paper ini dapat dilihat di http://library.oxfordjournals.org/cgi/pdf_extract/s6-12/4/273

O’Connor, J.J, & Robertson, E.F., 1999, Al-Battani, History of mathematics archive, Schools of Mathematics and Statistics, University of St. Andrews, http://www.gap-system.org/~history/Biographies/Al-Battani.html